Loading

Rabu, 27 Februari 2013

Buku Catatan Harian Ayahku


Saat  tengah membereskan lemari tua yang menjadi tempat penyimpanan berkas-berkas milik Ayahanda (Alm). Dari dalam laci lemarinya kutemukan sebuah buku  tulis yang sudah kumal dan usang. Kertasnya sudah berubah warna kuning kecoklatan, tulisannya yang ditulis dengan huruf  tegak bersambung menjadi ciri khas tulisan yang dibuat oleh orang tua jaman dulu, disamping menggunakan ejaan yang belum disempurnakan ditulis dalam bahasa Sunda , tulisannyapun   sudah sulit untuk dibaca.   berisi tentang berbagai kejadian-kejadian penting  dalam kehidupan kami. Berisi cerita tentang berbagai hal mulai dari perkawinan, kelahiran putra/putri juga banyak tulisan  berisi pantun dan nasihat yang ditulis dalam bahasa Sunda, sayang saya kesulitan untuk membaca karena tintanya sudah mulai memudar. Apakah ini buku catatan harian milik Ayahanda ?

Buku catatan harian atau Diary adalah buku catatan yang memuat berbagai kejadian-kejadian penting yang dialami oleh penulisnya. Baik itu kejadian yang membahagiakan ataupun juga cerita kesedihan, moment-moment /kejadian penting seringkali menjadi bahan yang sering ditulis oleh penulisnya. Buku catatan harian juga bisa menjadi tempat curahan hati . Alice D Nomar mengatakan menulis dibuku catatan harian adalah sebuah langkah untuk mengungkap sebuah emosi dan perasaan penulis dan bisa membantu penulis untuk merawat pikirannya. Dengan berkembangnya teknologi,  catatan harian tidak hanya ditulis dalam sebuah buku tapi bisa ditulis di note book atau di sebuah blog internet ( sumber : Wikipedia )
Dengan penuh rasa penasaran yang  mulai menelisik untuk mengetahui milik siapakah buku dan tulisan ini ? Saya mulai mengenali bentuk huruf dan  tulisannya , ini adalah tulisan tangan dari Ayahku (Alm) tulisan beliau begitu rapih dan indah , buku yang berisi catatan penting dan moment-moment penting dalam kehidupan keluarga kami.  Dihalaman pertama bisa kubaca satu peristiwa penting dalam kehidupan kedua orang tua yaitu perkawinan, beliau menulis : 

" Perkawinan :  Wardi - Nji Kartini, Poe Senen tg 25 Rewah 1366 ( 14 Djoeli 1947 ) djam 9 isoek2. Maskawin 10 Sen ( ORI ) kontan di Kaoem Tjimalaka Smd ( Sumedang ) "

Itu adalah peristiwa penting pertama yang ditulis Ayahanda ( Alm ) . Menurut cerita yang pernah kudengar dari mereka, Ayahanda yang saat itu ikut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda terpaksa harus mengungsi dari Bandung ke Sumedang dengan seluruh anggota keluarganya. Disanalah mereka bertemu dimana saat itu ibunda bekerja sebagai buruh pabrik tenun. Perkawian sederhana ditengah kondisi negara yang belum kondusif tapi tetap berlangsung dengan cukup meriah dengan dihadiri oleh sebagian besar anggota keluarga kedua belah pihak. 

Satu tahun setelah perkawinan lahirlah kakak sulungku, Ayahanda menulis :

" Dilahirkeun : Nji. Moeljati, Malem Salasa Pahing, tg 24 Djoem. Ahir 1307 ( 3 Mei 1948 ) djam 9 peuting " , dua tahun kemudian lahir kembali seorang bayi, " Nji Roslija, Malem Minggoe, wage tg 2 Poeasa 1369 ( 18 Djuni 1950 ) djam 4 soeboeh "  

Demikian seterusnya hampir 2 tahun sekali Ibunda melahirkan, sampai anak ke sembilan  yang kesemuanya adalah perempuan. Baru pada anak kesepuluh lahirlah  seorang bayi laki-laki " Kusmana, Malem Senen Wage 22 Radjab 1383 ( 9 desember 1963 ) djam 20,15 peuting ". Anak kesebelas perempuan yaitu saya, kedua belas laki-laki dan ketiga belas perempuan kembali .

Saat itu program Keluarga Berencana ( KB ) belum segencar sekarang, baru setelah kelahiran yang ke tiga belas (yang akhirnya menjadi bungsu ) Ibunda mengikuti program KB, entahlah jika tidak mengikuti KB mungkin bisa sampai 15 atau bisa lebih. Menurut cerita Ibunda setiap habis melahirkan untuk mempercepat proses pemulihan dan menjaga kondisi fisiknya, beliau selalu minum jamu godogan. Tapi setelah minum jamu justru semakin membuatnya bertambah subur sehingga jarak kelahiran semakin pendek bahkan ada yang jaraknya hanya 9 bulan.

Ibunda yang hampir tiap tahun melahirkan , begitu hebat menjaga kondisi fisiknya inilah kelebihan wanita jaman dulu, bisa menjaga kondisi fisiknya tetap prima, padahal setiap kelahiran hanya dibantu oleh seorang dukun beranak (paraji) dan tempatnya juga di rumah bukan di rumah sakit, seperti kebanyakan wanita sekarang saat melahirkan yaitu di rumah sakit.  Ibunda pertama kali melahirkan disaat usianya 20 tahun dan dalam rentang  20 tahun  Ibunda  telah melahirkan sebanyak 13 kali. Adik bungsu saya lahir pada " poe Djoemaah ( 9 Pebruari 1968 ) diberi nama Kartina ".

Satu waktu salah seorang teman  Ayahanda dari Jepang datang berkunjung ,  kami semua diperkenalkan padanya, begitu herannya beliau pada kami semua  sehingga terlontar pertanyaan darinya " Apakah semua anakmu lahir dari satu orang istri ? " , Ayahanda tertawa " tentu saja mereka semua lahir dari satu orang istri "  jawabnya. Sambil menggeleng-gelengkan  kepala si Jepang berkata " luar biasa istrimu "

Setiap kelahiran tentu akan ditandai dengan pemberian nama, suatu hari kami  sempat menanyakan pada orang tua mengenai nama-nama kami  yang menurut kami   tidak indah didengar. Orang tua mengatakan bahwa karena terlalu sering dan banyaknya anak yang dilahirkan sehingga kadang-kadang merekapun bingung untuk memberi nama, sampai pada akhirnya ada beberapa nama yang merupakan pemberian dari dukun beranak (paraji). Tentu saja jawaban orang tua membuat kami semua tergelak...........

Menemukan sebuah buku catatan harian yang sudah berusia lebih dari 40 tahun dan  berisi peristiwa-peristiwa penting yang ditulis sendiri oleh Ayahanda , merupakan peninggalan yang sangat berharga bagi saya.  Kini saya bisa mengenang kembali masa-masa kecil dulu dan mencoba membayangkan kerepotan yang mereka alami untuk membesarkan dan merawat kami semua . Tidak terbayangkan bagaimana repotnya mereka dengan 13 orang anak dengan jarak usia 1 - 2 tahun, sedangkan saya sendiri yang " cuma " dititipi 2 orang anak saja seringkali masih merasa  kerepotan dan  sulit untuk membagi waktu. 

Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu dan inilah kami sekarang berkumpul dan berfoto bersama  dalam satu kesempatan setahun yang lalu,  saat menghadiri perkawinan salah seorang cucu/keponakan saya,  bersama-sama dengan Ibunda yang tahun ini memasuki usia 85 tahun dan Alhamdulillah masih segar bugar.



Sementara Ayahanda sudah meninggalkan kami semua sejak 17 tahun yang lalu, setelah hampir 2 tahun berjuang melawan kanker prostat stadium 4.  Sampai  akhirnya menyerah untuk menghadap sang Khalik dengan membawa sebuah senyum ketenangan setelah menyelesaikan  semua tanggung jawabnya,  membesarkan, memberikan pendidikan yang cukup juga menjadi wali nikah kami semua , dan saya menjadi yang terakhir yang dinikahkannya. " We always miss you so much Dad, you will always be in our heart "


Mimpi itu selalu hadir membawa senyummu
Mimpi yang selalu membuatku tak mampu menyembunyikan derasnya air mata
Rinduku padamu semakin membuncah
Rindu untuk bisa berbaring dipangkuanmu
Disaat lelah menggerogoti jiwaku

Ayah, bisa kulihat indahnya senyummu
Senyum yang membuatku bahagia
Karena Allah telah menyiapkan sebuah istana yang indah di surgaNYA untukmu


Untuk bisa berkumpul dan mendokumentasikan kebersamaan menjadi satu hal yang sangat sulit untuk dilaksanakan saat ini, menyatukan 26 orang anak dan menantu, 39 orang cucu dan 13 orang cicit bukanlah pekerjaan yang mudah apalagi diantara kami sudah tinggal berlainan kota, sehingga disetiap kesempatan kami selalu berusaha mengabadikan moment-moment indah tersebut, ini adalah sebagian dari moment kebersamaan kami yang sempat terekam dalam kamera


Galeri dari Generasi ke Generasi :


Generasi ke dua dan tiga















Generasi keempat






 

19 komentar:

  1. saluuuttt....jadi ikutan terharu bisa mengumpulkan seluruh keluarga. terispirasi deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bu susah banget untuk bisa berkumpul dgn bgt banyak anggota keluarga yg sudah tinggal berlainan kota, terima kasih sudah mampir salam bwt keluarga

      Hapus
  2. subhanaLlah...jadi ingat keluarga besar kami (saya dan suami), karena terpisah2 kota, sesekali ketemu anak2 jadi bingung, Oom dan tantenya banyak, kakek dan nenek juga banyak, sama orang yang sebaya orang tuanya bahkan lebih tua lagi bukannya manggil Oom atau tante, tapi terpaksa manggil Uda dan Uni.
    Anak2 nanya kok bisa sih Mi sama orang tua manggil Uda/Uni...hahaha mau bagaimana lagi, emang garis kakak...
    Atau tiba2 gak boleh manggil Uda dan Uni, tapi harus panggil nama, ini karena ternyata yang lebih tua itu adalah keponakan mereka.
    Anak2 saya bilang, bingung Mi...(kasihan)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha.........begitulah anak2 sekarang kritis banget ya bu ! anak-anak saya pun kadang suka bingung mau panggil apa dgn om/tante ua/bibi dan sepupu-sepupunya, adakalanya krn tinggal berjauhan mereka gak knl dgn sdr nya sendiri, bgt ketemu bingung deh mau panggil apa, kelg besar jg bu ? salam bwt kelurga bsrnya trims sdh mampir dan berkenan memberi koment, he....

      Hapus
  3. Saya berharap Ayah saya melakukan seperti ini juga. Tapi beliau tidak melakukannya. Tak apa. Saya yang akan mulai melakukannya. Membuat catatan harian. Supaya anak-anak saya kelak paham, apa yang terjadi di dalam keluarga dari sudut pandang saya.

    Catatan ini indah mbak Tini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meninggalkan sesuatu yg bisa diwariskan untuk anak dan cucu walaupun hanya sebentuk catatan buku harian btl2 menjadi benda yg sangat berharga bwt saya, tdk ada yg perlu disesali mbak Anita , mbak bisa memulai membuat catatan harian dari sudut pandang sendiri yg kelak bs diwariskan utk anak dan cucu mbak, terima kasih sdh mampir

      Hapus
  4. Ayah dan keluarga yang luar biasa, saluuuut mbak . inspiratif :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih mbak dewi kunjungannya........

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Subhanallah.. ayahanda yang begitu bersahaja, mencatat setiap momen berharga untuk anak cucunya.. hingga dapat membentuk keturunan yang luar biasa. Terharu mbak membacanya ^^ keluarga besar yang harmonis :)

    BalasHapus
  7. Aamiin.........Terima kasih mbak Diah kunjungannya

    BalasHapus
  8. wowww, subhanallah. sama persisi dengan ibu mertua saya yang 13 bersaudara dan sehat semua. embah juga masih sehat.
    orang dulu itu memang huebat2. zaman sekarang aja nih, banyak orang suusah punya momongan, lahiran jg banyak yg caesar. jempol wes ibune sampeyan (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita sama2 keluarga besar ya mbak Maftuhah,.......... iya wanita2 jaman dulu hebat ya gak banyak ngeluh, jempol jg bwt ibune sampeyan. matur nuwun sdh mampir

      Hapus
  9. Mbak Tini ya Allahhhh!! saya sampai terharu membacanya, saya juga lahir dari keluarga besar, sembilan bersaudari, ga ada laki2nya,meni karasep jeung gareulis deuih, subhanAllah, pokona mah hebat lah, saluttt wehhh!!!
    Semoga Alm ayah dan ibu selalu dirahmati Allah SWT ya, aammiinn!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin..........terima kasih mbak Aisha, pribados oge 13 teh pamegetna mah mung dua, istrina sabelas, janten sok disebat kasebelasan galanita dg 2 cadangan.........

      Hapus
  10. Hebat memang wanita2 dulu, nenek juga melahirkan sepuluh anak,salah satunya ibu saya
    dan ketika melahirkan ibu usia beliau mungkin sekitar 45 th

    Catatan ini akan sangat berharga kelak mbak

    Salam kenal :)

    BalasHapus
  11. Ya betul mbak Esti catatan dari buku harian ayahanda menjadi harta warisan yg paling berharga buat kami sekeluarga, tidak menyangka ternyata beliau menuliskan dan menyimpan semua hal penting dalam kehidupan kami semua,

    Salam kenal kembali mbak Esti terima kasih sudah mampir

    BalasHapus
  12. Catatan/jejak sejarah (memori)keluarga yang tentu akan memberi makna mendalam bagi pelaku mauoun keturunannya. Semoga amal bakti penulis jejak masa lalu ini diterima di sisi Allah. Beliau adalah pejuang utk negeri dan keluarga. Semoga ttp terjalin keharmonisan dalam keluarha besar Ibu. Amin.... salam

    BalasHapus
  13. Aamiin..........terima kasih atas kunjungannya pak, Waalaikumsallam

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...