" Suara tangisan seorang perempuan begitu jelas terdengar. Semakin hari suara tangisan yang terdengar semakin keras. Kucari-cari siapa yang sedang menangis dengan mengikuti arah datangnya suara. Tetapi tidak tampak seorangpun yang sedang menangis. Hampir setiap hari suara tangisan itu selalu menggema mengisi seluruh ruangan namun tidak terlihat seorangpun disana, hanya ada saya seorang. Lalu siapakah yang sedang menangis ? mengapa suara tangisannya begitu jelas terdengar dan semakin hari semakin kencang ? "
Kuceritakan semua yang saya dengar pada suami, tentang suara tangisan yang terasa begitu dekat sekali di telinga. " Mungkin Mak Iah sedang rindu pada Mama, nanti kita tengok bukankah sudah lama pula kita tidak menengoknya ? Dia memberi isyarat melalui suara tangisan yang mama dengar padahal tidak ada satupun disekitar mama yang sedang menangis !" ujar suami.
Mak Iah, seorang perempuan berusia 90 tahun saat ini hanya bisa berdiam diri didalam rumahnya . Sesekali dia turun dari pembaringannya, sebuah bangku berukuran 90 x 150 m beralas kasur kapuk yang sudah tipis, hanya untuk sekedar menghibur diri dengan menonton televisi berukuran 14 inch. Mak Iah tinggal di sebuah rumah kecil setengah tembok, jauh di pelosok kota di dekat sungai Citarum. Yang sering kali airnya meluap keluar dan membanjiri daerah di sekitarnya. Mak Iah tinggal bersama anak, cucu dan menantunya. Berbagi tempat dan ruang dengan banyak penghuni didalamnya. Sementara tempat beristirahat Mak Iah, bukanlah sebuah kamar tidur yang layak disebut kamar tidur. Hanya ada satu ruangan dan sebuah lemari tempat menyimpan televisi dan dibalik lemari itulah tempat pembaringan Mak Iah. Di satu-satunya ruangan itu pula biasanya dia berkumpul bersama anak, cucu dan menantunya. Sebenarnya masih ada dua kamar lagi, tetapi kamar itu dipakai oleh anak, mantu dan cucu. Sementara Mak Iah hanya kebagian "kamar" dibalik lemari tua.
Mak Iah adalah pengasuh saya ketika kecil. Sebelum bisa berjalan, seingat saya dialah yang sering menggendong saya kesana kemari untuk menjalani terapi. Samar-samar sudah bisa kuingat bagaimana dia selalu menggendong dengan kain batik panjangnya, berangkat dari rumah dengan menaiki bemo kendaraan roda tiga yang dahulu menjadi kendaraan umum untuk mengunjungi Dokter Nagar Rasyid, yang merawat polio saya bersama dengan ibunda. Mak Iah juga yang selalu mengurus dan menemani hari-hari saya karena kedua orang tua cukup sibuk dengan usahanya. Saya hanya bisa bertemu kedua orang tua di kala sore hari, sementara sepanjang hari hanya Mak Iah lah yang menjadi teman setia saya. Dia begitu telaten dan sayang sekali, seolah saya adalah anak kandungnya sendiri. Dan saya pun seperti memiliki dua orang ibu, satu ibu kandung dan satunya lagi adalah Mak Iah.
Sampai beranjak remaja dan usia Mak Iah semakin renta, dia sudah tidak lagi bekerja dan menjadi pengasuh saya. Namun dia masih sering datang berkunjung. Ada ikatan kuat diantara kami untuk saling merindukan, demikian juga saya jika lama tidak bertemu selalu menghadirkan rasa rindu untuk datang mengunjunginya. Setelah saya menikah dan Mak Iah berpindah rumah cukup jauh. Saya pernah memintanya untuk tinggal bersama-sama dengan kami, namun anak-anaknya tidak mengijinkan Mak Iah tinggal bersama-sama dengan kami.
Suara tangisan seorang perempuan yang sering terdengar akhirnya membawa saya bersama dengan suami menempuh perjalanan cukup jauh membelah kemacetan kota Bandung yang sudah akut, sampai akhirnya tiba di rumah Mak Iah setelah dua jam perjalanan. Begitu kami sampai di rumahnya dan masih di ambang pintu, Mak Iah langsung turun dari pembaringannya untuk sujud syukur. " Gusti Allah, hatur nuhun sagala pamaksadan abdi nu dipikahayang nu dipenta beurang peuting, ayeuna dikabulkeun hatur nuhun, Gusti Allah " ( Gusti Allah, terima kasih semua yang diinginkan dan diminta siang malam telah KAU kabulkan ), ujar Mak Iah disela-sela sujud syukurnya. Ternyata Mak Iah memberikan isyarat kerinduannya melalui suara tangisan yang sering saya dengar. SUBHANALLAH ! begitu besar rasa rindu yang ditahannya untuk saya, rindu seorang ibu untuk anaknya walaupun dia bukan anak yang dilahirkan melalui rahimnya sendiri.
Mak Iah langsung tersedu di pangkuan saya cukup lama, dipeluknya saya erat-erat seolah tidak ingin
dilepaskan kembali. Dia tidak memperdulikan buah tangan untuknya, ada kasur, bantal dan selimutnya, karpet juga sembako. Dia hanya ingin bertemu dan memeluk saya, sekuat tenaga saya berusaha untuk menahan hangatnya bulir-bulir halus luruh membasahi pipi, namun akhirnya jebol juga. Kami larut dalam tangisan penuh rasa bahagia, dan membiarkan Mak Iah menumpahkan semua kerinduannya. " Maafkan saya Mak, baru sekarang bisa menjengukmu ", ujar saya. Suara tangisan yang sering saya dengar, ternyata adalah sebuah isyarat kerinduanmu. Pandangan Mak Iah begitu lekat penuh selidik, dia seperti tengah berusaha meyakinkan dirinya sendiri " betulkah yang kini berada di hadapannya seorang anak yang sangat dirindukan dan ditunggu kedatangannya ! "
" Nginaplah disini bersama Mak ", pinta mak ketika kami pamit pulang. Tapi Mak, anak-anak di rumah bagaimana ? , Insyaallah nanti setelah lebaran, kami datang kembali menengok Mak, ujar saya. Ada mendung menggurat wajahnya ketika kami pamit dan meninggalkannya pulang. Namun ada sedikit senyum menghias bibirnya setelah rasa rindunya terpuaskan. Dalam hati saya berjanji mudah-mudahan masih diberi umur dan kesehatan untuk kembali bisa menemui Mak Iah yang selalu kurindukan dan dirindukannya, Aamiin.........
Tulisan ini diikutsertakan untuk GA dalam rangka launching blog My Give Away Niken Kusumowardhani,Kuceritakan semua yang saya dengar pada suami, tentang suara tangisan yang terasa begitu dekat sekali di telinga. " Mungkin Mak Iah sedang rindu pada Mama, nanti kita tengok bukankah sudah lama pula kita tidak menengoknya ? Dia memberi isyarat melalui suara tangisan yang mama dengar padahal tidak ada satupun disekitar mama yang sedang menangis !" ujar suami.
Mak Iah, seorang perempuan berusia 90 tahun saat ini hanya bisa berdiam diri didalam rumahnya . Sesekali dia turun dari pembaringannya, sebuah bangku berukuran 90 x 150 m beralas kasur kapuk yang sudah tipis, hanya untuk sekedar menghibur diri dengan menonton televisi berukuran 14 inch. Mak Iah tinggal di sebuah rumah kecil setengah tembok, jauh di pelosok kota di dekat sungai Citarum. Yang sering kali airnya meluap keluar dan membanjiri daerah di sekitarnya. Mak Iah tinggal bersama anak, cucu dan menantunya. Berbagi tempat dan ruang dengan banyak penghuni didalamnya. Sementara tempat beristirahat Mak Iah, bukanlah sebuah kamar tidur yang layak disebut kamar tidur. Hanya ada satu ruangan dan sebuah lemari tempat menyimpan televisi dan dibalik lemari itulah tempat pembaringan Mak Iah. Di satu-satunya ruangan itu pula biasanya dia berkumpul bersama anak, cucu dan menantunya. Sebenarnya masih ada dua kamar lagi, tetapi kamar itu dipakai oleh anak, mantu dan cucu. Sementara Mak Iah hanya kebagian "kamar" dibalik lemari tua.
Mak Iah adalah pengasuh saya ketika kecil. Sebelum bisa berjalan, seingat saya dialah yang sering menggendong saya kesana kemari untuk menjalani terapi. Samar-samar sudah bisa kuingat bagaimana dia selalu menggendong dengan kain batik panjangnya, berangkat dari rumah dengan menaiki bemo kendaraan roda tiga yang dahulu menjadi kendaraan umum untuk mengunjungi Dokter Nagar Rasyid, yang merawat polio saya bersama dengan ibunda. Mak Iah juga yang selalu mengurus dan menemani hari-hari saya karena kedua orang tua cukup sibuk dengan usahanya. Saya hanya bisa bertemu kedua orang tua di kala sore hari, sementara sepanjang hari hanya Mak Iah lah yang menjadi teman setia saya. Dia begitu telaten dan sayang sekali, seolah saya adalah anak kandungnya sendiri. Dan saya pun seperti memiliki dua orang ibu, satu ibu kandung dan satunya lagi adalah Mak Iah.
Sampai beranjak remaja dan usia Mak Iah semakin renta, dia sudah tidak lagi bekerja dan menjadi pengasuh saya. Namun dia masih sering datang berkunjung. Ada ikatan kuat diantara kami untuk saling merindukan, demikian juga saya jika lama tidak bertemu selalu menghadirkan rasa rindu untuk datang mengunjunginya. Setelah saya menikah dan Mak Iah berpindah rumah cukup jauh. Saya pernah memintanya untuk tinggal bersama-sama dengan kami, namun anak-anaknya tidak mengijinkan Mak Iah tinggal bersama-sama dengan kami.
Suara tangisan seorang perempuan yang sering terdengar akhirnya membawa saya bersama dengan suami menempuh perjalanan cukup jauh membelah kemacetan kota Bandung yang sudah akut, sampai akhirnya tiba di rumah Mak Iah setelah dua jam perjalanan. Begitu kami sampai di rumahnya dan masih di ambang pintu, Mak Iah langsung turun dari pembaringannya untuk sujud syukur. " Gusti Allah, hatur nuhun sagala pamaksadan abdi nu dipikahayang nu dipenta beurang peuting, ayeuna dikabulkeun hatur nuhun, Gusti Allah " ( Gusti Allah, terima kasih semua yang diinginkan dan diminta siang malam telah KAU kabulkan ), ujar Mak Iah disela-sela sujud syukurnya. Ternyata Mak Iah memberikan isyarat kerinduannya melalui suara tangisan yang sering saya dengar. SUBHANALLAH ! begitu besar rasa rindu yang ditahannya untuk saya, rindu seorang ibu untuk anaknya walaupun dia bukan anak yang dilahirkan melalui rahimnya sendiri.
Mak Iah langsung tersedu di pangkuan saya cukup lama, dipeluknya saya erat-erat seolah tidak ingin
dilepaskan kembali. Dia tidak memperdulikan buah tangan untuknya, ada kasur, bantal dan selimutnya, karpet juga sembako. Dia hanya ingin bertemu dan memeluk saya, sekuat tenaga saya berusaha untuk menahan hangatnya bulir-bulir halus luruh membasahi pipi, namun akhirnya jebol juga. Kami larut dalam tangisan penuh rasa bahagia, dan membiarkan Mak Iah menumpahkan semua kerinduannya. " Maafkan saya Mak, baru sekarang bisa menjengukmu ", ujar saya. Suara tangisan yang sering saya dengar, ternyata adalah sebuah isyarat kerinduanmu. Pandangan Mak Iah begitu lekat penuh selidik, dia seperti tengah berusaha meyakinkan dirinya sendiri " betulkah yang kini berada di hadapannya seorang anak yang sangat dirindukan dan ditunggu kedatangannya ! "
" Nginaplah disini bersama Mak ", pinta mak ketika kami pamit pulang. Tapi Mak, anak-anak di rumah bagaimana ? , Insyaallah nanti setelah lebaran, kami datang kembali menengok Mak, ujar saya. Ada mendung menggurat wajahnya ketika kami pamit dan meninggalkannya pulang. Namun ada sedikit senyum menghias bibirnya setelah rasa rindunya terpuaskan. Dalam hati saya berjanji mudah-mudahan masih diberi umur dan kesehatan untuk kembali bisa menemui Mak Iah yang selalu kurindukan dan dirindukannya, Aamiin.........
" Seseorang belum bisa dikatakan berhasil/sukses, jika belum bisa membahagiakan Ibunya ", andai saja semua bisa saling perduli dan membagi kasih sayang pada sesama, tidak akan ada orang tua yang hidup dalam kesendirian dan kesepian, tidak akan ada orang tua yang terpaksa meminta-minta hanya untuk mengisi perutnya. Tidak akan ada orang tua yang hidup di kandang kambing, dan tidak ada orang tua yang merana dalam kesendirian dimasa tuanya. Saya seorang ibu dan faham bagaimana jika seorang ibu merindukan anaknya. Dan Mak Iah walaupun bukan ibu yang melahirkan saya, tapi bagi saya dia tetaplah ibu sejati yang pantas di hormati, dihargai dan dicintai. Dia telah memberikan begitu banyak cinta dan kasih sayangnya, karena itu diapun pantas mendapatkan perhatian dan cinta dari kami yang menyayanginya. Saya adalah anak yang diasuhnya dari kecil, dan disisa hidupnya Mak Iah pantas untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang saya. Dengan cara mengunjungi dan tetap memberikan perhatian untuknya saya menyemai cinta untuknya di sisa umurnya yang sudah renta.
Anak, Cucu dan Mantu Mak Iah
Aduuuh mbak Tizara, cerita menyedot air mata nihh...kereeen pokoknya. Semoga sukses yaa :)
BalasHapusTerima kasih Mbak Christanty
HapusSubhanallah..Ikatan batin yang sangat kuat...bagai ibu dan anak yang sesungguhnya....
BalasHapusSukses buat GAnya mbak... :)
Mak Iah bagai Ibu kedua untuk saya mbak Nova, terima kasih sudah mampir
HapusSubhanallah... saya merinding membaca tulisan ini
BalasHapusSemoga mbak Tizara diberi kesehatan yg baik dan dilebihkan rizkynya agar bisa berbagi bersama Mak Iah
Salam
Aamiin......terima kasih Mas/Mba
HapusMbak Tizara, rasa haru terasa sekali membaca tulisan ini. Dalamnya kasih sayang kalian terungkap dengan rangkaian kata mbak Tizara.
BalasHapusTerima kasih partisipasinya, sudah tercatat sebagai peserta.
Terima kasih mba Niken sudah diijinkan ikut sebagai peserta
Hapussukses membuat sy mewek ya mbak. MasyaAllah... semoga dipanjangkan waktu dan rejekinya agar bisa terus bersilaturahim. salam buat ma Iah
BalasHapusAamiin......Insyaallah salamnya saya sampaikan
Hapuspanjang umur ya mbak
BalasHapusYa mak Hana, Mak-nya panjang umur
Hapustiba2 saya jadi ingat pengasuh saya, Teh , meski tidak mengasuh fulltime, tapi saya sering merasakan hangat gendongannya
BalasHapushiks...jadi kangen
peluk......... Uni Vetrieni
Hapussemoga tetap diberi kesehatan saja. jadi terharu bacanya..
BalasHapusSalam Blogger,
Menyemai Cinta
Aamiin........terima kasih PakLek
HapusAduh, terharu...
BalasHapusAlangkah bahagianya Mbak Tizara mempunyai Mak Iah.
Semoga beliau tetap sehat, ya.
Sukses untuk kontesnya, Mbak :)
Aamiin.........terima kasih mbak Inna
Hapusdatang berkunjung...
BalasHapusterharu sekali. posting tentang hal yang selama ini tidak pernah terfikirkan. doa saya buat mak Iah, semoga bahagia selalu dalam umurnya yang sudah tinggi....
Terima kasih sudah berkunjung Mas
HapusSelamat, mbak Tini. Artikel ini termasuk sebagai pemenang GA Menyemai Cinta.
BalasHapushttp://forgiveaway.blogspot.com/2013/07/pemenang-ga-menyemai-cinta.html
Terima kasih mbak Niken sudah kukirim alamatku untuk pengiriman tali asih
Hapus