Loading

Selasa, 28 Mei 2013

Antara Meracik Adonan Kue dan Meracik Kata Untuk Sebuah Buku


Tahun ini komunitas IIDN berulang tahun yang ke-3 apa ya kira-kira kado terindah untuk kado ulang tahunnya ? Walaupun tahun ini IIDN berulang tahun yang ke-3 tapi saya baru mengenalnya kurang lebih 5 bulan belakangan ini. Meskipun belum begitu lama berkenalan dan menjadi bagian dari keluarga besar IIDN, tetapi rasanya seperti sudah mengenal cukup lama. Banyak teman-teman dan sahabat baru yang saya temukan disana, sehingga tidak berlebihan kiranya jika kuberikan kue ulang tahun terindah untuk IIDN tercinta. Sayangnya saya tidak bisa memberikan langsung kue ini untuk dua orang guru terbaik di IIDN yaitu Indari Mastuti dan Lygia Pecanduhujan, kuenya saya kirim imagenya saja ya, he.........


Meracik adonan untuk membuat kue hampir sama dengan meracik kata untuk membuat buku. Hanya yang membedakan untuk membuat kue kue enak atau tidaknya adalah indera perasa , sedangkan  meracik kata untuk menghasilkan sebuah buku yang bagus mengandalkan otak dan pikiran. Tapi bukan berarti mereka yang memiliki ilmu dan daya nalar yang rendah tidak bisa menjadi seorang penulis. Karena seorang penulis punya kejelian dalam mencari isu, mengolah dan menuangkannya secara kreatif. Dengan ilmu seadanya, penulis bisa menghasilkan karya yang jauh lebih menarik daripada seorang yang sangat cerdas tetapi tidak terbiasa menulis.
Seperti halnya seorang ahli masak atau ahli membuat kue baru akan bisa menghasilkan kue dan masakan yang enak setelah melalui latihan dan uji coba berulang-ulang. Kebiasaan mereka melakukan uji coba akan membuat indera perasa mereka menjadi peka. Sehingga bisa mendapatkan hasil yang memuaskan. Demikian juga dengan para penulis, ketekunan mereka untuk terus berlatih dan menulis akan menghasilkan tulisan bagus. Keterlatihan otak dalam mengolah segala sesuatu yang ada di lingkungannya bisa menghasilkan karya yang menarik untuk dikonsumsi publik.
Lalu bagaimana saya bisa menyelaraskan kemampuan meracik adonan kue dengan kemampuan meracik kata, untuk menghasilkan sebuah karya yang bisa dikonsumsi oleh publik. Sementara usia sudah mulai beranjak senja, otak juga sudah mulai susah untuk menyerap berbagai bacaan. Kadang untuk mengerti apa yang dibaca saja harus berulang kali baru mengerti apa maksud dari isi bacaan tersebut. Memang harus diakui ini otak sudah mulai lola alias loading lama dan perlu tambahan nutrisi supaya tidak lola lagi. Namun saya teringat dengan salah satu buku yang mengatakan bahwa kebiasaan menulis dan membaca akan membuat seseorang terlihat awet muda. Bukankah kebiasaan menulis itu berbanding lurus dengan kebiasaan membaca juga !
Seorang pemikir Muslimah asal Aljazair Fatima Mernisi ditanya oleh para mahasiswinya, mengapa wajahnya tidak berubah dan nampak lebih muda dari usianya yang sudah setengah baya, ia menjawab “ Karena saya sering membaca dan menulis “. Pertanyaan yang kurang lebih sama sempat dilontarkan oleh putra sulung saat saya berulang tahun bulan kemarin “ Mengapa kulit mama belum keriput, rambut mama juga belum memutih seperti kebanyakan wanita-wanita seusia mama, padahal usia mama sudah hampir setengah abad “, mungkinkah karena sekarang menulis dan membaca sudah menjadi santapan sehari-hari yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, sehingga berdampak pada wajah  yang kelihatan lebih muda dan berseri seperti halnya yang dialami oleh Fatima Mernisi ? Siapa sih yang tidak senang kelihatan tetap awet muda, mendapat pujian dari anak dan suami padahal resepnya sungguh sederhana yaitu banyak menulis dan membaca.
            Seperti kata Fatima Mernisi membaca adalah proses memasukkan ilmu, memasukkan gizi yang berkualitas bagi syaraf-syaraf otak. Sementara, menulis adalah memanfaatkan ilmu, menggerakkan ilmu agar berkembang dan mendapat tempat untuk meluas dan membentang. Ketika ilmu memiliki kesempatan untuk masuk dan keluar lagi, ia menemukan tempat untuk berkembang dan meremajakan diri. Dampaknya, orang yang memiliki ilmu itu akan tampak lebih remaja dari usianya.
 Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang ? “ Think big, start small, act now “, itulah yang saya lakukan bersama komunitas Ibu Ibu Doyan Nulis. Berpikir besar bahwa suatu saat bisa menjadi seorang penulis besar dengan banyak karya besar yang bisa diterima oleh masyarakat. Bukankah itu sebuah cita-cita yang bisa terjadi pada siapapun yang mau belajar dan bekerja keras ? tapi cita-cita itu tidak akan tercapai jika  hanya berdiam diri saja tanpa pernah bergerak untuk memulainya. Demikian halnya dengan membuat kue, jika hanya dibaca resepnya tanpa mulai untuk membuatnya kue tersebut tidak akan pernah bisa dimakan untuk dirasakan enak atau tidaknya.
Saya memulainya dengan mengikuti pelatihan online yang diadakan oleh grup ini dengan mentor yang luar biasa yaitu Indari Mastuti. Begitu ada tawaran untuk mengikuti pelatihan online saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini apalagi biaya yang ditawarkan juga cukup terjangkau yaitu Rp 50.000 dengan dua kali pertemuan. Bandingkan dengan biaya pelatihan kepenulisan lainnya yang berbiaya ratusan juta rupiah. Padahal ilmu dan kesempatan yang ditawarkan sesudah mengikuti pelatihan ini luar biasa. Setiap alumni diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuan menulisnya dengan membuat buku lewat agency IndscriptCreative yang akan diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar salah satunya Gramedia. Bagaimana saya tidak bergirang hati dan seolah terbangun dari mimpi suatu saat ada salah satu tulisan saya yang mungkin akan diterbitkan oleh penerbit sekaliber Gramedia dan banyak diburu para penikmat buku, seperti halnya kue-kue produksi saya yang banyak diburu para penikmat kuliner.
Ibu Rumah Tangga profesi yang banyak disandang oleh sebagian besar anggota di grup kepenulisan
IIDN , tidak membuat para ibu ini kehabisan waktu untuk berkarya. Disela-sela kesibukannya sebagai istri dan juga ibu dengan segudang pekerjaan tapi masih mau belajar dan berkarya. Justru dari profesi mereka banyak digali cerita yang bisa ditulis dalam sebuah buku untuk bisa dibagikan kepada para ibu lainnya diluar sana sebagai cerita yang menginspirasi seperti kisah-kisah dalam buku Storycake for Amazing Mom. Mungkin ada sebagian orang menganggap apa sih bagusnya cerita tersebut, hanya sebuah cerita yang tidak ada artinya ? eit.....jangan lupa bahwa dari hal-hal kecil kita belajar untuk menjadi besar. Untuk sebagian orang mungkin sepele tapi masih banyak orang dibelahan dunia lainnya  menilai bahwa cerita itu sangatlah berharga. Ingat tidak kesuksesan dari buku chicken soup yang berisi kisah-kisah inspiratif, kisah yang banyak ditulis oleh para ibu rumah tangga yang akhirnya bisa mendunia ? Saya yakin suatu saat seri dari Storycake juga tidak akan kalah dengan seri chicken soup dan saya ada didalam sebagai salah seorang kontributornya.
Jadi kata siapa bergabung dengan komunitas IIDN tidak ada manfaatnya dan hanya buang-buang waktu ? Banyak penulis yang terlahir dari komunitas ini, keterampilan mereka terus diasah untuk melahirkan karya-karya besar, dengan judul yang tidak kalah menggelitiknya. Teringat saat berburu buku “Masuk Surga Walau Belum Pernah Sholat “ karya mbakyu Candra Nila Murti Dewojati. Judulnya yang menggelitik membuat penasaran untuk memiliki dan membacanya. Masa iya sih bisa masuk surga walau belum pernah sholat ? padahal sholat kan salah satu syarat utama bagi seorang muslim yang tidak boleh ditinggalkan. Membuat sebuah buku dengan judul menggelitik, sama halnya dengan membuat kue dengan bentuk yang unik dan lucu selalu membuat penasaran konsumen untuk memburunya. Semua keterampilan itu hanya bisa diperoleh lewat proses latihan berulang.
Siapapun bisa menjadi seorang penulis, begitu juga halnya siapapun bisa menjadi seorang chef. Mulailah berlatih menulis dari hal yang paling anda kuasai, demikian pernah diutarakan oleh Indari Mastuti. Saya jadi teringat buku catatan harian yang pernah ditulis oleh almarhum ayahanda berpuluh tahun yang lalu. Sebuah buku catatan harian yang tidak sengaja ditemukan dari dalam laci lemari yang sudah tua. Buku yang berisi semua catatan penting dalam kehidupan kami sekeluarga. Buku catatan harian ini merupakan warisan yang sangat berharga dan tidak ternilai untuk saya. Seandainya saja beliau tidak membuatkan catatan harian yang berisi kisah perjalanan hidup kami semua, mungkin sejarah kelahiran kami tidak akan sebegitu rinci kami ketahui seperti yang dituliskannya. Bukankah ingatan seseorang tidak sebaik ketika mereka masih muda ? sehingga menuliskan hal penting sebagai bagian dari sejarah hidupnya sungguh merupakan sebuah warisan yang tidak ternilai harganya.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Ibu Kartini, mengapa beliau begitu fenomenal dan dikenang banyak orang sebagai seorang pahlawan ? padahal di jamannya tidak sedikit pula pejuang-pejuang wanita. Yang membedakannya adalah karena Kartini berjuang dengan menuangkan fikiran dan cita-citanya kedalam bentuk tulisan yang bisa dibaca dan diketahui  banyak orang. Siapa yang bisa membaca pikiran dan mengetahui cita-cita seseorang jika yang bersangkutan hanya menyimpannya dalam pikiran ? Dan kini setelah berpuluh tahun semua tulisannya tersebut  masih bisa dibaca sebagai bagian sejarah yang tidak terlupakan.
Sungguh luar biasa apa yang dilakukan oleh seorang Indari Mastuti dan LygiaPecanduhujan untuk membantu para wanita mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki oleh para wanita khususnya kaum ibu, melalui sebuah komunitas Ibu Ibu Doyan Nulis. Inilah tindakan nyata yang dilakukan oleh para ibu untuk mewujudkan semua mimpinya menjadi seorang penulis. Seperti seorang ibu menumpahkan bentuk kasih sayangnya dalam sebuah tindakan nyata salah satunya dengan membuatkan kue-kue yang menjadi kesukaan anaknya.
 Komunitas IIDN memang relatif masih muda, keberadaannya baru memasuki usia tiga tahun. Bagai balita yang baru mulai tumbuh dan berkembang, tetapi prestasi yang dihasilkan oleh para anggotanya sungguh luar biasa. Banyak karya yang sudah ditelurkan melalui agencynya Indscript Creative. Banyak liputan mengenainya diberbagai media dan pemberitaan. Siapa yang bisa mengira diusianya yang masih dini kiprahnya sudah begitu menggelora. Mengundang banyak decak kagum dan mendapat banyak penghargaan.
Sehingga tidak salah saya katakan IIDN, Indari Mastuti, Lygia Pecanduhujan dan Indscript Creative adalah tokoh-tokoh dibalik kesuksesan para ibu rumah tangga dalam menggapai mimpi dan cita-citanya sebagai penulis. Meracik setiap kata untuk sebuah buku bagai meracik adonan kue, dibutuhkan latihan dan ketekunan untuk menghasilkan karya terbaik yang bisa dinikmati oleh setiap konsumen.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...