Loading

Selasa, 20 Januari 2015

Menanamkan Empati Pada Anak

" Bu, aku tadi membantu penjual koran yang koran nya berjatuhan, karena tertabrak seseorang. Habis itu kita ngumpulin uang yang masih tersisa kemudian diberikan pada kakek itu " cerita Zahra, si bungsu  sepulang dari Trans Mall. Zahra dan teman-temannya hari itu berencana membuat foto bersama dengan teman-teman pengajiannya karena sebentar lagi mereka akan menyelesaikan pendidikan MDA-nya.

Saya senang mendengar ceritanya telah menolong seorang kakek yang bermula dari ajakan salah seorang temannya. Walaupun setelah itu mereka harus pulang berjalan kaki, karena uang yang tadinya untuk ongkos pulang sudah diberikan pada kakek penjual koran. Kebetulan rumah tempat kami tinggal tidak jauh dari Trans Mall, anak-anak terkadang mengambil jalan pintas daripada harus memutar dengan menggunakan kendaraan umum. Bersyukur Zahra memiliki teman yang mengingatkannya untuk memiliki empati terhadap orang lain.

Sikap tidak perduli pada orang lain atau tidak memiliki empati sering kita temui pada orang dewasa. Saya pernah mengalami peristiwa harus berdiri didalam kereta api yang membawa kami pulang dari Solo ke Bandung. Ceritanya saat itu libur panjang, kami sekeluarga memutuskan untuk berlibur ke kota Solo dengan mengendarai kereta api. Saat pulang yang diperkirakan sudah tidak terlalu ramai ternyata didalam kereta masih sangat penuh. Management perkeretaapian belum seperti sekarang, masih dijual tiket walaupun sudah tidak ada lagi tempat duduk.

Didalam kereta sudah penuh sesak, hanya ada satu tempat duduk padahal kami berlima. Saya mengambil tempat duduk kosong, sementara anak-anak dan suami berdiri. Seorang bapak disebelah saya akhirnya berdiri memberikan tempat duduknya untuk si bungsu. Didepan saya duduk seorang bapak dengan pakaian TNI tanpa memperdulikan keponakan perempuan yang saat itu juga ikut bersama-sama tetap berdiri. Alhamdulillah di stasiun Lempuyangan Jogja banyak penumpang turun, baru disana kami bisa duduk semuanya.

Anak-anak saya sekolah di sekolah negeri, teman-teman mereka berasal dari kelas sosial berbeda. Ada yang berasal dari status sosial cukup tapi ada juga yang dari kelas " kurang mampu ". Dari berbagai perbedaan itu mereka belajar untuk memahami bahwa tidak semua orang memiliki nasib yang sama. Mungkin anak-anak saya memiliki nasib lebih baik bila dibandingkan dengan temannya yang kurang beruntung. Tapi saya ingatkan tidak semua orang seberuntung dirinya, agar mereka bisa mengerti dan memahami "kesulitan orang lain", ada hal-hal yang bisa mereka lakukan yang orang lain belum tentu bisa melakukannya. Itu pula yang saya tanamkan pada mereka jika ibunya berbeda dengan ibu-ibu yang lain. Saya tetap mengantarkan mereka ke sekolah, menemani mereka diawal mereka masuk sekolah, mengambil raport saat pembagian raport. Dan kegiatan-kegiatan lainnya yang membutuhkan kehadiran orang tua. Walaupun saat  saya ke sekolah selalu  menjadi tontonan anak-anak lain karena saya memakai tongkat. Saya tidak ingin anak-anak menjadi malu ketika ibunya berada ditengah teman-temannya.

Mengambil pelajaran dari seorang teman sesama difabel, yang tidak diperbolehkan ke sekolah oleh anaknya karena merasa malu. Dia malu dengan ibunya yang difabel, karena setelah itu selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Saya tidak ingin anak-anak saya seperti itu. Oleh karena itu, saya ajak anak-anak ke komunitas difabel tempat saya berkumpul, sehingga mereka bisa melihat banyak orang tua seperti ibunya,  akhirnya mereka bisa mengerti tidak semua orang seberuntung dirinya dikaruniai fisik sempurna. Sikap peka terhadap perasaan orang lain itulah yang saya harapkan bisa terus tertanam dalam diri anak-anak hingga mereka dewasa. Sekarang saya bersyukur Zahra  memiliki teman yang  mengingatkannya untuk memiliki empati pada orang lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...