Kesedihan yang dialami seorang anak karena ditinggalkan oleh ibunya, orang yang sangat penting dalam hidupnya akan dialami oleh siapapun. Kesedihan seperti ini yang kurasakan setiap menjelang waktu maghrib dan subuh. Karena pada waktu-waktu tersebut hampir setiap hari suara alunan kalam Illahi tidak pernah lepas beliau lantunkan. Tiada hari tanpa membaca itulah yang selalu beliau lakukan, buku apa saja akan dibacanya namun yang tidak pernah lepas beliau baca yaitu ayat-ayat suci Al Qur'an.
Meskipun usianya sudah hampir 86 tahun tetapi kesukaannya membaca tidak pernah berkurang. Menurut penuturannya dengan membaca penglihatannya semakin terang bukan berkurang. Dimulai dari kebiasaannya membaca, kemudian saya sering melihatnya tengah menulis. Beberapa bulan terakhir sebelum kepergiannya ibu sering terlihat tengah menulis diatas mesin jahit yang telah berusia lebih dari lima puluh tahun. Entah apa yang ditulisnya setiap ditanya beliau hanya tersenyum.
Baru belakangan kuketahui beliau tengah menuliskan kisah perjalanan hidupnya yang belum sempat diselesaikan. Sang Pencipta telah terlebih dulu memanggilnya sebelum sempat menyelesaikan tulisannya. Inilah kisahnya......
Cerita ibunda yg ditulis tangan dg ejaan lama |
Alhamdulillah Wasukurillah, kita panjatkan puji dan syukur ke Hadirat Allah SWT yang telah memberikan berbagai kenikmatan yang terkadang kita lupa mensyukurinya. Oleh karena itu melalui tulisan ini Ene (panggilan kami untuk ibunda ) berharap semoga anak , cucu dan buyut Ene kelak menjadi orang-orang soleh yang selalu mensyukuri nikmat dari-NYA.
Tanggal 28 Oktober 1928 lahirlah seorang anak perempuan dari seorang ibu bernama Aisyah dan bapak Tanuwisastra, didaerah Tanjungsari kabupaten Sumedang dan diberi nama Kartini. Nama yang sama dengan tokoh perjuangan wanita Indonesia, mungkin Abah dan Ema berharap suatu saat Ene juga akan mempunyai sifat pejuang seperti Ibu RA. Kartini. Ene sehari-hari biasa dipanggil Atin.
Dua tahun kemudian tahun 1930 , Ene lupa tanggalnya lahirlah adik perempuan satu-satunya yang diberi nama Nyi Nanih. Sampai usia 10 tahun kedua orang tua Ene yang dipanggil dengan sebutan Ema dan Abah tidak pernah bercerita jika Ene mempunyai seorang kakak laki-laki yang diberi nama Eman. Menurut penuturan Ema dan Abah kakak Ene dititipkan Abah di rumah saudaranya di kampung untuk bersekolah.
Baru pada usia 10 tahun Kang Eman (kakak Ene) oleh ibu angkatnya dikembalikan pada Abah dan Ema. Tujuannya untuk melanjutkan sekolah di Tanjungsari karena di kampung hanya ada sekolah desa. Akhirnya Kang Eman disekolahkan di Hollandsch Inlandsche School (HIS- maaf jika salah nulis). Kalau Ene dan adik sekolah di di MVS ( Meyes Verlog School) dimana saat itu masih masa penjajahan Belanda.
Tahun 1941 Ene lulus dari MVS di usia Ene masih 13 tahun. Abah menginginkan Ene jadi guru. Tapi untuk bisa masuk ke sekolah guru yang berada di Bandung harus sudah berusia minimal 15 tahun. Jadilah Ene disuruh mengulang lagi di kelas 6 sambil menunggu untuk bisa bersekolah di sekolah guru.
Disaat Ene dan saudara-saudaranya masih kecil keadaan ekonomi keluarga cukup baik. Abah bekerja sebagai pembuat bendo (penutup kepala yang biasa dipakai oleh para pria ). Bendo ini biasa dipakai oleh pegawai pemerintahan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) kalau jaman sekarang. Dengan baju setelan dan celana panjang sebagai pelengkapnya. Untuk para wanitanya memakai kain batik dan kebaya.
Memasuki awal tahun 1942 datanglah orang-orang Jepang yang berniat untuk menjajah negeri ini. Sistem pendidikkanpun berbeda antara sistem pendidikan Belanda dan Jepang. Saat bangsa Jepang berkuasa anak-anak sekolah setiap hari hanya diajarkan Kimigayo yaitu lagu kebangsaan Jepang dan Taiso. Taiso itu artinya olah raga yang diiringi musik dan lagu Jepang. Karena Ene orangnya kecil dan pendek sehingga seringkali diminta berdiri diatas meja untuk memberi contoh pada yang lainnya saat melakukan Taiso. Sementara yang menjadi komandannya sepupu Ene bi Ai, namanya.
Suasana saat itu tambah tidak nyaman karena setiap pergi ke sekolah, di jalanan banyak tentara lalu-lalang. Menurut kabar mereka itu para tentara bayaran. Kabar akan datangnya tentara Gurka yang sadis dan haus pada perempuan akhirnya membuat Abah mengambil keputusan untuk mengungsikan keluarga ke kampung yang lebih aman. Kami semua mengungsi ke kampung dimana kakak Ene tinggal waktu kecil dulu.
Baru beberapa hari di kampung terdengar kabar jika kota Tanjungsari dijatuhi bom oleh tentara Jepang. Setelah kejadian itu Abah menyusul kami semua ke kampung dan meminta kami semua kembali karena situasi Tanjungsari sudah kembali aman.
Saat kami tiba di Tanjungsari rumah Ene Alhamdulillah masih selamat. Namun tidak demikian dengan rumah saudara-saudara Ema semuanya hancur dan rata dengan tanah terkena jatuhan bom . 7 orang saudara Ema menjadi korban saat bom dijatuhkan, diantaranya ada yang tengah hamil 7 bulan. Jika mengingat semua itu Ene sangat sedih.
Setelah Tanjungsari dijatuhi bom oleh tentara Jepang keadaan ekonomi semakin sulit. Kain yang menjadi bahan baku Abah membuat bendo menghilang di pasaran, sehingga membuat usaha Abah terhenti. Keadaan ini akhirnya membuat Abah dan Ema memutuskan untuk pindah ke Cibeureum Sumedang, tempat kedua orang tua Abah tinggal. Mengingat saat itu orang tua Abah juga sudah mulai tua. Tetapi Kang Eman yang saat masih bersekolah di sekolah pertanian tetap ditinggal di Tanjungsari. Kang Eman tinggal di asrama jadi menurut Abah cukup aman untuk ditinggalkan.
Selepas sholat subuh Ema, Ene dan adik Ene berangkat dari rumah di Tanjungsari menuju Cibeureum. Kami berjalan kaki karena waktu itu masih jarang kendaraan, Abah menyusul kemudian. Dijalanpun masih sangat sepi, sedih rasanya bila mengingat semua itu. ( sampai disini air mataku tidak berhenti mengalir membayangkan tiga orang wanita berjalan menempuh jarak kurang lebih15 Km dengan berjalan kaki di pagi buta untuk bisa menyelamatkan diri )
Keinginan Abah untuk bisa menyekolahkan Ene di sekolah guru akhirnya kandas setelah kejadian tersebut. Sehari-hari Ene hanya bermain di kebun, kadang mencari kayu bakar. Sementara Ema untuk membantu ekonomi keluarga menerima jahitan baju, menurut para tetangga jahitan Ema cukup enak dipakai. Suatu ketika ada seorang teman mengajak Ene untuk bekerja di pabrik tenun di Cimalaka. Alhamdulillah Ene dan teman yang mengajak bisa diterima bekerja di pabrik itu.
Tahun 1946 banyak pengungsi dari Bandung yang berdatangan ke Cibeureum. Diantara para pengungsi tersebut ada seorang pemuda bernama Wardi. Bekerja di pabrik yang sama dengan Ene sebagai portir (sekuriti). Sementara Ene ditempatkan sebagai tukang tenun. Pekerjaan sebagai tukang tenun tidak terlalu cape untuk Ene karena mesin tenunnya sudah menggunakan listrik. Di Pabrik tenun inilah awal perkenalan Ene dengan pemuda Wardi yang akhirnya menjadi suami Ene.
Tahun 1947 Ene dan Apa (panggilanku untuk Bapak) menikah. Beberapa minggu setelah menikah suasana mulai genting kembali. Pada saat itu bangsa Kolonial Belanda berniat untuk kembali menjajah Indonesia. Pabrik tenun tempat Apa dan Ene bekerja akhirnya ditutup setelah terdengar kabar jika pemilik pabrik ditembak oleh kolonial Belanda saat tengah mengontrol pabriknya.
Suasana saat itu semakin genting setiap rumah yang berada di pinggir jalan tidak luput dari pemeriksaan oleh kolonial Belanda. Situasi ini akhirnya memaksa seluruh penghuni rumah untuk mengungsi ke kampung yang agak jauh dari jalan besar. Setelah keadaan mulai aman barulah Ene dan keluarga kembali lagi ke rumah.
Setelah pabrik ditutup otomatis tidak ada lagi pekerjaan untuk Apa. Keadaan ini membuat Apa belajar untuk berjualan beras demi menghidupi istri dan jabang bayi yang sudah mulai tumbuh di rahim Ene. Pada saat usia kandungan Ene memasuki usia kehamilan 7 bulan, adik perempuan Ene satu-satunya yang bernama Nanih menikah dengan seorang pemuda yang memiliki nama sama dengan kakak Ene yaitu Eman.
Apa (bapak) akhirnya memutuskan untuk pindah ke Bandung setelah merasakan jika hasil dari penjualan beras tidak mencukupi. Dengan niat mencari pekerjaan baru. Kebetulan saat itu keluarga Apa yang ikut mengungsipun sudah pulang kembali ke Bandung. Setelah melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Mulyati ( biasa dipanggil Ua Ceuceu ), dan usia ua ceuceu memasuki 5 bulan Ene baru menyusul Apa ke Bandung. Mulanya Apa dan Ene mengontrak di Cicadas tapi baru satu bulan kami pindah ke Kiaracondong karena di Cicadas sulit air. Kebetulan ada rumah yang mau di kontrakkan dekat dengan rumah orang tua Apa.
Kisah hidup yang ditulis Ene terhenti sampai disini. Setelah itu masih ada 12 orang anak lagi yang lahir dari rahim Ene dengan jarak 1 - 2 tahun. Ene belum sempat menyelesaikan tulisannya karena yang Maha Kuasa telah terlebih dulu memanggilnya pulang ke hadirat-NYA. Innalillahi Wainna Illaihi Rojiun............
Ya Rabb Yang Maha Rahman dan Rahim, kematian adalah suatu takdir tidak ada seorangpun yang bisa lepas bila sudah sampai waktunya tiba. Rasa perih itu masih belum hilang, namun aku bangga memiliki dua orang tua hebat seperti mereka. Pertemukanlah mereka kembali di surga-MU yang indah sebagai umat yang selalu menyebarkan dan mengajarkan kebaikan pada kami semua, Aamiin......Aamiin.......Ya Rabbal Allamin
Kebersamaan kami yg terakhir bersama ibunda Idul 1 syawal 1435 H |
subhanallah :'(
BalasHapuseh itu teh yg foto bersama dari foto wa yg kukirim ya :D hehehehe
Ya Cahya cantik.......
Hapussubhanallah... Masih sempat menulis kisahnya...
BalasHapusSemoga ibunda mendapat tempay terbaik disis Nya...
Aamiin......terima kasih mak sdh mampir
HapusSubhanllah. Kisah yang bisa memotivasi dan menginspirasi kita dan calon penerus bangsa lainnya, bahwa masih ada masa-masa yang lebih sulit dari pada masa sekarang. Jadi.. Kita harus tetap semangat dan berjuang untuk hidup yang lebih baik. Semoga Ene bisa bersatu dengan Apa di SurgaNya, Mak. Amin. :')
BalasHapusAamiin.....terima kasih mak Elisa sdh mampir
HapusSubhanallah.. luar biasa ya ibunya mbak Tini ini.. baik perjuangannya pada masa lalu maupun sebelum menutup mata.. beliau masih mampu menuliskan kisahnya untuk anak2 cucu2 maupun cicit2nya...
BalasHapussemoga Ene bisa bersatau dengan Apa di surga ya, Mbak... :)
Aamiin........terima kasih Mak Diah
Hapus