Loading

Jumat, 21 November 2014

Mengapa harus ribut ? inilah penyesalanku

Sampai kini rasa perih itu masih belum hilang. Ibu baru dua bulan yang lalu meninggalkan kami sekeluarga untuk selama-lamanya secara tiba-tiba. Saya katakan tiba-tiba karena saat kepergiannya ke rumah sakit ibu masih bisa berjalan sendiri, masih memiliki kesadaran penuh, ibu juga tidak mau menggunakan kursi roda saat tiba di rumah sakit, Ibu masih bisa bercanda. Tapi hasil cek labnya semua buruk, irama jantungnya juga sudah datar. Hasil pemeriksaan ini yang membuat dokter dan perawat saling berpandangan seraya mengatakan “ fisik ibu luar biasa hebat, ibu kuat sekali. Kebanyakan orang dengan hasil lab dan detak jantung seperti ini sudah lewat sebelum tiba di rumah sakit”. Dengan hasil pemeriksaan awal seperti itu dokter akhirnya memutuskan untuk memasukkan ibu ke ruang ICU.

Walaupun  ibu sudah sering keluar masuk rumah sakit karena fungsi jantungnya yang sudah mulai melemah disebabkan faktor usia, tapi ibu selalu pulang kembali ke rumah dengan keadaan segar bugar. Namun  hari itu tidak ada yang menyangka jika itu adalah terakhir kalinya ibu di rumah sakit. Hanya semalam di ICU ibu berpulang keharibaanNYA untuk selama-lamanya. Innalillahi Wainna Illaihi Rojiun.......... Saya menangis sejadi-jadinya karena pada saat ibu berpulang ke Rahmatullah tidak berada disampingnya. Padahal sepanjang hidup saya tidak pernah berjauhan dengan ibu. Saya satu-satunya yang tidak diperkenankan untuk pergi dari rumah setelah menikah. “ Anak-anak ibu yang lain boleh dibawa pergi oleh suaminya, tetapi kamu harus tetap dengan ibu disini “ demikian ucapnya setelah saya menikah, akhirnya suami yang mengalah.

Hubungan anak dengan orang tua terkadang ada turun naiknya, demikian pula hubungan saya dengan ibu. “ Sudahlah turuti apa kemauan ibu daripada ribut terus dengan ibu gara-gara makan “ demikian ucap kakak. Ketika saya mengatakan jika ibu sudah tidak mau diatur lagi soal makanannya. Padahal sejak jantungnya bermasalah dokter memintanya untuk menjaga makanan dan melakukan diet. Ibu hanya menuruti beberapa hari saja setelah itu ibu selalu menolak dengan alasan “ berapa lama lagi sih umur ibu, biarkan  ibu makan apa saja ibu mau makan enak “.

Saya teringat beberapa bulan sebelum kepergiannya ibu selalu minta ditemani. Keadaan ini sedikit merepotkan karena saya tidak mungkin terus menerus menemaninya. Bagaimana dengan anak-anak dan suami yang juga harus diperhatikan kebutuhannya, apalagi kami juga tidak memiliki asisten rumah tangga. Untuk menyiasatinya saya bersama kakak-kakak membuat jadwal piket harian secara bergilir menemani ibu. Disaat terakhir hidupnya ibu lebih banyak bercerita terutama kisah hidupnya dimasa lalu. Mungkin karena itulah  ibu selalu ingin ditemani.  

Sampai suatu ketika entah mengapa setiap kali saya pergi keluar rumah, pulangnya ibu pasti  marah. Padahal kalaupun keluar rumah selalu bersama suami atau anak dan selalu ada yang menemani ibu dirumah. Itupun tidak pernah lama dan selalu pamit padanya. Biasanya saya selalu diam tiap kali ibu marah atau mengomel, tapi hari itu entah mengapa saya membantahnya dengan mengatakan “ mengapa ibu selalu memarahi saya setiap kali keluar rumah sedangkan terhadap kakak yang lain ibu biasa-biasa saja“. Ibu terlihat kaget saat itu, beliau tidak menyangka saya akan bersikap demikian.
Setelah kejadian itu ibu langsung pindah ke rumah kakak yang kebetulan jaraknya tidak jauh dengan tempat tinggal kami. Ibu pergi dengan hati yang terluka dan saya juga saat itu merasa tidak bersalah  terhadap ibu.

Dua hari setelah peristiwa tersebut ibu tiba-tiba mendatangi saya yang tengah membereskan pakaian didalam lemari. Sambil menangis beliau meminta maaf kemudian satu ciuman mendarat dipipi saya. Kami akhirnya berpelukan dengan berurai air mata. “ Bukan maksud ibu untuk menjauh dari Tini, untuk sementara ibu tinggal di rumah kakakmu. Biar mereka juga ikut merasakan mengurus ibu “  demikian kata ibu saat mengatakan untuk sementara tinggal di rumah kakak. Namun karena jarak rumah yang berdekatan ibu masih tetap bolak balik ke rumah.

Sampai suatu hari ibu mengeluhkan dadanya sakit dan minta diantar ke rumah sakit. “ Pokoknya ibu minta diantar kerumah sakit sekarang juga, dada ibu sakit “ keluhnya. Segera kami bawa ibu ke UGD rumah sakit yang menjadi langganannya. Meskipun ibu mengeluh dadanya sakit tapi seperti yang saya ceritakan diatas ibu masih bisa berjalan sendiri dengan kesadaran penuh. Dokter sudah berusaha menyelamatkan ibu tetapi rupanya Allah berkehendak lain hanya semalam di ICU tanggal 14 September 2014 , hari minggu pukul 15.47 ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 86 tahun.

Yang menjadi penyesalan saya, pada saat ibu menghembuskan nafas terakhirnya saya tidak berada disampingnya padahal selama hidupnya ibu tidak pernah jauh dari saya. Ditambah lagi satu peristiwa sebelumnya yang membuat ibu pindah dari rumah. “ Kejadian itu semuanya sudah diatur oleh Allah, Mama telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk jauh dari ibu sebelum ibu benar-benar pergi untuk selama-lamanya “ demikian kata suami setiap kali saya menyesali dan menyalahkan diri sendiri mengapa harus ribut terlebih dahulu yang membuat ibu pergi dari rumah. 

Tahun ini untuk pertama kalinya saya merayakan hari ibu tanpa ibu disisiku. Tidak ada lagi  pelukan dan ciuman semuanya pasti berbeda. Namun sejumput do'a tidak pernah kulepaskan untuk menghantarkan kepergiannya ke surga dan bertemu kembali dengan Ayahanda  yang telah lebih dahulu meninggalkan kami untuk selama-lamanya.  



Saya dan Ibu


" Semua artikel dalam kontes unggulan Hati Ibu Seluas Samudra atas inisiatif sang inisiator kuis,  Pakde Guslik Galaxi telah diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul yang sama. Buku yang berisi tentang kisah nyata para ibu  ditulis oleh para blogger sendiri telah diterbitkan oleh penerbit Sixmidad. Buku dengan ketebalan 625 halaman berisi 125 kisah tentang ibu sebuah persembahan istimewa dalam memperingati hari ibu sudah bisa dipesan melalui penerbitnya atau melalui para kontributornya "




Selasa, 18 November 2014

BBM naik (lagi), mengapa harus panik !

Foto diambil dari google
Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali naik untuk yang kesekian kalinya. Setiap kenaikan BBM selalu disertai dengan berbagai gejolak di masyarakat. Demonstrasi yang menolak kenaikan BBM terjadi dimana-mana, ada yang tertib namun tidak sedikit pula yang berujung anarkis. Dan mengganggu ketertiban umum. Bagi para ibu rumah tangga kenaikan BBM ini tentu saja merepotkan, karena sudah bisa ditebak harga kebutuhan pokok juga ikut melambung dengan alasan kenaikan BBM. Padahal tidak sedikit dari mereka para pedagang yang telah lebih dulu menaikkan harga sebelum harga BBM resmi diumumkan pemerintah. Sehingga  pada saat  harga BBM benar-benar naik mereka juga ikut-ikutan menaikkan harga kembali. Tentu saja dengan keuntungan yang berlipat.  Mengapa keserakahan manusia dengan mengambil keuntungan dari kesulitan dan keterjepitan orang lain tidak pernah berubah. Mungkin memang sudah dasar dari sifat manusia itu sendiri yang selalu tidak pernah  merasa puas dengan apa yang diperolehnya.

" Tidak usahlah menjadi panik setiap kali ada kenaikan BBM. Yang penting Allah Azza Wa Jalla masih memberi rejeki untuk kita bisa membelinya " demikian ujar suami setiap kali saya mengeluhkan kenaikan BBM. Suami selalu begitu memandang segala sesuatu dengan santai, segalanya tidak pernah dibuat ribet. " Rejeki itu sudah ada yang mengatur, yang penting kita masih mau berusaha dan yakin Allah akan membukakan pintu rejekiNYA " Tidak perlu juga kita ikut-ikutan antri seperti yang lain untuk memperoleh selisih harga. Coba bandingkan selisih harga  dengan waktu yang terbuang untuk antri, apakah cukup sepadan ? Toh keesokan hari dan seterusnya juga pasti membeli BBM dengan harga yang sudah naik.

Kebanyakan dari kita yang terbiasa hidup dengan berlimpah materi sering lupa bersyukur dan mengeluh dengan dikuranginya kenyamanan. Contohnya kenaikan BBM otomatis akan mengurangi jumlah kenikmatan yang diperoleh dengan nilai yang sama diwaktu lalu. Tapi tahukah jika didaerah pelosok yang jauh dari ibu kota seperti di pelosok kota Kupang orang cuci rambut, cuci baju, cuci piring sabunnya sama yaitu detergen. Mereka tidak terpengaruh dengan kenaikan BBM yang penting mereka dapat listrik dan masih bisa makan sehari-hari. Jadi mengapa kita harus panik apalagi sampai stres. Anggaplah kenaikan BBM ini sebagai ujian untuk menguji kita juga sebagai penghapus dosa atas keresahan yang dialami.

Yang penting patut kita yakini bahwa rejeki kita telah ditetapkan oleh Allah Azza Wa Jalla. Jatah rejeki yang telah Allah tetapkan tidak akan berkurang dan bertambah karena kenaikan BBM. Namun demikian kita harus tetap bekerja menjemput rejeki, karena tidak ada seorangpun yang mengetahui seberapa besar jatah rejeki kita yang sudah Allah tentukan. Tidak perlulah kenaikan BBM dimaknai sebagai kesempitan dan berkurangnya jatah rejeki. Tapi maknai kenaikan BBM ini untuk kita lebih bertakwa kepada Allah, seperti yang tertulis dalam  QS At Thalaq ayat 2 - 3 yang berbunyi : " Siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan jalan keluar. Allah akan berikan rejeki dari jalur yang tidak mereka perhitungkan ".

Istri yang baik dalam pandangan anakku

" Mah, kalau aku sudah punya istri nanti istriku tidak boleh berkerja "
" Lho kenapa , ya tidak bisa begitu pula kan ?  Lagipula kalau istrimu itu punya pendidikan dan karir yang bagus sayang  kalau dia cuma dirumah saja terus ilmunya tidak dimanfaatkan "
" Kalau istriku bekerja terus nanti siapa yang menjaga anak-anak ? " ucapnya tidak mau kalah.
" Bukankah bisa dicarikan orang yang bisa menjaga anakmu "
" Tapi Mah, sekarang tidak mudah mencari orang yang bisa dipercaya untuk bisa menjaga anak. Lagipula aku gak mau nanti terus anakku jadi merepotkan neneknya. Mamah sudah ngurus anak-anak masa masih harus juga mengurus cucu seperti ibu anu. Ujarnya sambil menyebut nama seorang ibu. Kapan orang tua bisa beristirahat jika masih juga direpotkan dengan urusan cucu ". Ada benarnya juga apa yang sudah diucapkannya.
" Semua harus dibicarakan, Aa tidak bisa memutuskan sendiri seorang istri harus dirumah. Nanti mertuamu bisa tersinggung Lho. Mereka pikir enak saja anaknya sudah disekolahkan tinggi-tinggi akhirnya cuma jadi inem dirumah  ".
" Bisa juga kan seorang istri itu berkarir dari rumah, sehingga dia bisa tetap bekerja tapi masih bisa mengawasi keluarganya , atau mencarikan orang yang bisa menjaga anak-anak tapi tetap ada orang tua atau keluarga yang bisa mengawasi mereka".
" Aa, suami yang baik akan mendorong istrinya untuk maju, berkembang dan bertambah ilmunya. Demikian pula istri yang baik akan mendorong suaminya juga untuk maju dan berkembang".
"Aa ingat tidak dengan pepatah dibalik kesuksesan suami pasti ada istri yang hebat ".
" Istri yang mempunyai karir diluar rumah bukan berarti tidak baik, selama dia bisa menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai istri dengan baik maka tidak perlu takut jika suatu hari nanti punya anak lantas membuat  seorang istri harus kehilangan kesempatan untuk tetap berkarir "
" Komunikasi, itu kuncinya " ucapku yang membuatnya tersenyum. Entah apa yang ada dibalik senyumnya, semoga pemahaman dia bertambah mengenai sosok istri yang baik.

Sebagai orang tua saya harus bisa memberikan argumen yang mudah dipahami. Sehingga diapun bisa menerima penjelasannya tanpa merasa disalahkan. Obrolan pagi hari di meja makan saat sarapan itupun berakhir. Putra sulungku yang biasa dipanggil Aa segera pamit pergi kuliah setelah menyelesaikan sarapan paginya..

Si sulung saat ini baru memasuki usia delapan belas tahun. Di usianya yang sekarang dia sudah mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Kami menganggap wajar ketika dia mulai menyukai teman perempuan di kelasnya waktu SMA, tetapi sebagai orang tua tetap mengingatkan bahwa dalam Islam tidak ada istilah pacaran. Diapun faham betul sehingga tidak pernah ada acara malam mingguan dan sebagainya hanya sebatas suka.

Dengan dua orang anak yang sudah mulai memasuki usia remaja. Saya merasa masih belum menjadi orang tua dan istri yang baik. Namun demikian tetap berusaha untuk menjadi yang terbaik bagi mereka. Kami berusaha untuk menanamkan nilai-nilai baik pada anak-anak tanpa ada unsur paksaan. Karena pada dasarnya anak akan mencontoh nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga. Seperti pemikiran yang muncul tentang istri yang baik pada si sulung setelah dia kerap kali melihat seorang ibu yang setiap hari direpotkan dengan urusan memomong cucu, sementara kedua orang tuanya sibuk bekerja. Anakku itu memang pengamat yang baik, dia akan melontarkan berbagai pertanyaan dan argumen yang menurutnya tidak berkenan dihati.

Dalam pandangan anakku istri yang baik adalah yang tetap dirumah menjaga dan merawat anak-anak dengan baik tanpa harus merepotkan orang tua. Itu pemikirannya disaat usia remaja, apakah pemikirannya akan berubah sesuai dengan pertambahan usianya  ?  Saya sendiri tidak tahu, namun saya percaya dengan nilai dan norma yang kami terapkan pada mereka selama ini.  Insya Allah pilihannya kelak bisa mempunyai istri yang baik layaknya Khadijah istri baginda Rasullullah SAW.













   



m

Kamis, 13 November 2014

Jejak Hidup Sang Bunda Untuk Anak, Cucu Dan Cicit

Kesedihan yang dialami seorang anak karena ditinggalkan oleh ibunya, orang yang sangat penting dalam hidupnya akan dialami oleh siapapun. Kesedihan seperti ini yang kurasakan setiap menjelang waktu maghrib dan subuh. Karena pada waktu-waktu tersebut hampir setiap hari suara alunan kalam Illahi tidak pernah lepas beliau lantunkan. Tiada hari tanpa membaca itulah yang selalu beliau lakukan, buku apa saja akan dibacanya namun yang tidak pernah lepas beliau baca  yaitu  ayat-ayat suci Al Qur'an. 

Meskipun usianya sudah hampir 86 tahun tetapi kesukaannya membaca tidak pernah berkurang. Menurut penuturannya dengan membaca penglihatannya semakin terang bukan berkurang. Dimulai dari kebiasaannya membaca, kemudian saya sering melihatnya tengah menulis. Beberapa bulan terakhir sebelum kepergiannya ibu sering terlihat tengah menulis diatas mesin jahit yang telah berusia lebih dari lima puluh tahun. Entah apa yang ditulisnya setiap ditanya beliau hanya tersenyum.
Baru belakangan kuketahui beliau tengah menuliskan kisah perjalanan hidupnya yang belum sempat diselesaikan. Sang Pencipta telah terlebih dulu memanggilnya sebelum sempat menyelesaikan tulisannya. Inilah kisahnya......


Cerita ibunda yg ditulis tangan dg ejaan lama

Alhamdulillah Wasukurillah, kita panjatkan puji dan syukur ke Hadirat Allah SWT yang telah memberikan berbagai kenikmatan yang terkadang kita lupa mensyukurinya. Oleh karena itu melalui tulisan ini Ene (panggilan kami untuk ibunda ) berharap semoga anak , cucu dan buyut Ene kelak menjadi orang-orang soleh yang selalu mensyukuri nikmat dari-NYA.

Tanggal 28 Oktober 1928  lahirlah seorang anak perempuan dari seorang ibu bernama Aisyah dan bapak Tanuwisastra, didaerah Tanjungsari kabupaten Sumedang dan diberi nama Kartini. Nama yang sama dengan tokoh perjuangan wanita Indonesia, mungkin Abah dan Ema berharap suatu saat Ene juga akan mempunyai sifat pejuang seperti Ibu RA. Kartini. Ene sehari-hari biasa dipanggil Atin.

Dua tahun kemudian tahun 1930 , Ene lupa tanggalnya lahirlah adik perempuan satu-satunya yang diberi nama Nyi Nanih. Sampai usia 10 tahun kedua orang tua Ene yang dipanggil dengan sebutan Ema dan Abah tidak pernah bercerita jika Ene mempunyai seorang kakak laki-laki yang diberi nama Eman. Menurut penuturan Ema dan Abah kakak Ene dititipkan  Abah di rumah saudaranya di kampung untuk bersekolah.

Baru pada usia 10 tahun  Kang Eman (kakak Ene)  oleh ibu angkatnya dikembalikan pada Abah dan Ema. Tujuannya untuk melanjutkan sekolah di Tanjungsari karena di kampung hanya ada sekolah desa. Akhirnya Kang Eman disekolahkan di Hollandsch Inlandsche School (HIS- maaf jika salah nulis). Kalau Ene dan adik  sekolah di di MVS ( Meyes Verlog School) dimana saat itu masih masa penjajahan Belanda.
Tahun 1941 Ene lulus dari MVS  di usia Ene masih 13 tahun. Abah menginginkan Ene jadi guru. Tapi untuk bisa masuk ke sekolah guru yang berada di Bandung harus sudah berusia minimal 15 tahun. Jadilah Ene disuruh mengulang lagi di kelas 6 sambil menunggu untuk bisa bersekolah di sekolah guru.

Disaat Ene dan saudara-saudaranya masih kecil keadaan ekonomi keluarga cukup baik. Abah bekerja sebagai pembuat bendo (penutup kepala yang biasa dipakai oleh para pria ). Bendo ini biasa dipakai oleh pegawai pemerintahan, Pegawai Negeri Sipil (PNS)  kalau jaman sekarang. Dengan baju setelan dan celana panjang sebagai pelengkapnya.  Untuk para wanitanya memakai kain batik dan kebaya.

Memasuki awal tahun 1942 datanglah orang-orang Jepang yang berniat untuk menjajah negeri ini. Sistem pendidikkanpun berbeda antara sistem pendidikan Belanda dan Jepang.  Saat bangsa Jepang berkuasa anak-anak sekolah setiap hari hanya diajarkan Kimigayo yaitu lagu kebangsaan Jepang dan Taiso. Taiso itu artinya olah raga yang diiringi musik dan lagu Jepang. Karena Ene orangnya kecil dan pendek sehingga seringkali diminta berdiri diatas meja untuk memberi contoh pada yang lainnya saat melakukan Taiso. Sementara yang menjadi komandannya sepupu Ene bi Ai, namanya.

Suasana saat itu tambah tidak nyaman karena setiap pergi ke sekolah, di jalanan banyak tentara lalu-lalang. Menurut kabar mereka itu para tentara bayaran. Kabar akan datangnya tentara Gurka yang sadis dan haus pada perempuan akhirnya membuat Abah mengambil keputusan untuk mengungsikan keluarga ke kampung yang lebih aman.  Kami semua mengungsi ke kampung dimana kakak Ene tinggal waktu kecil dulu.
Baru beberapa hari di kampung terdengar kabar jika kota Tanjungsari dijatuhi bom oleh tentara Jepang. Setelah kejadian itu Abah menyusul kami semua ke kampung dan meminta kami semua  kembali karena situasi Tanjungsari sudah kembali aman.

Saat kami tiba di Tanjungsari rumah Ene Alhamdulillah masih selamat. Namun tidak demikian dengan rumah saudara-saudara Ema semuanya hancur dan rata dengan tanah terkena jatuhan bom . 7 orang saudara Ema  menjadi korban saat bom dijatuhkan, diantaranya ada yang tengah hamil 7 bulan. Jika mengingat semua itu Ene sangat sedih.

Setelah Tanjungsari  dijatuhi bom oleh tentara Jepang keadaan ekonomi semakin sulit. Kain yang menjadi bahan baku Abah membuat bendo menghilang di pasaran, sehingga membuat usaha Abah terhenti. Keadaan ini akhirnya membuat Abah dan Ema memutuskan untuk pindah ke Cibeureum Sumedang, tempat kedua orang tua Abah tinggal. Mengingat saat itu orang tua Abah juga sudah mulai tua. Tetapi Kang Eman yang saat  masih bersekolah di sekolah pertanian tetap ditinggal di Tanjungsari. Kang Eman tinggal di asrama jadi menurut Abah cukup aman untuk ditinggalkan.

Selepas sholat subuh Ema, Ene dan adik Ene berangkat dari rumah di Tanjungsari menuju Cibeureum.  Kami  berjalan kaki karena waktu itu masih jarang kendaraan, Abah menyusul kemudian. Dijalanpun masih sangat sepi, sedih rasanya bila mengingat semua itu. ( sampai disini air mataku tidak berhenti mengalir membayangkan tiga orang wanita berjalan menempuh jarak kurang lebih15 Km dengan berjalan kaki di pagi buta untuk bisa menyelamatkan diri ) 

Keinginan Abah untuk bisa menyekolahkan Ene di sekolah guru akhirnya kandas setelah kejadian tersebut. Sehari-hari Ene hanya bermain di kebun, kadang mencari kayu bakar. Sementara Ema untuk membantu ekonomi keluarga  menerima jahitan baju,  menurut para tetangga jahitan Ema cukup enak dipakai. Suatu ketika ada seorang teman mengajak Ene untuk bekerja di pabrik tenun di Cimalaka. Alhamdulillah Ene dan teman yang mengajak bisa diterima bekerja di pabrik itu.

Tahun 1946 banyak pengungsi dari Bandung yang berdatangan ke Cibeureum. Diantara para pengungsi tersebut ada seorang pemuda bernama Wardi. Bekerja di pabrik yang sama dengan Ene sebagai portir (sekuriti). Sementara Ene ditempatkan sebagai tukang tenun. Pekerjaan sebagai tukang tenun tidak terlalu cape untuk Ene karena mesin tenunnya sudah menggunakan listrik. Di Pabrik tenun inilah awal perkenalan Ene dengan pemuda Wardi yang akhirnya menjadi suami Ene. 

Tahun 1947 Ene dan Apa (panggilanku untuk Bapak)  menikah. Beberapa minggu setelah menikah suasana mulai genting kembali. Pada saat itu bangsa Kolonial Belanda berniat untuk kembali menjajah Indonesia. Pabrik tenun tempat Apa dan Ene bekerja akhirnya ditutup setelah terdengar kabar jika pemilik pabrik ditembak oleh kolonial Belanda saat tengah mengontrol pabriknya.

Suasana saat itu semakin genting setiap rumah yang berada di pinggir jalan tidak luput dari pemeriksaan  oleh kolonial Belanda. Situasi ini akhirnya memaksa seluruh penghuni rumah untuk mengungsi ke kampung yang agak jauh dari jalan besar. Setelah keadaan mulai aman barulah Ene dan keluarga kembali lagi ke rumah.

Setelah pabrik ditutup otomatis tidak ada lagi pekerjaan untuk Apa. Keadaan ini membuat Apa belajar untuk berjualan beras demi menghidupi istri dan jabang bayi yang sudah mulai tumbuh di rahim Ene. Pada saat usia kandungan Ene memasuki usia kehamilan 7 bulan, adik perempuan Ene satu-satunya yang bernama Nanih menikah dengan seorang pemuda yang memiliki nama sama dengan kakak Ene yaitu Eman.

Apa (bapak) akhirnya memutuskan untuk pindah ke Bandung setelah merasakan jika hasil dari penjualan beras tidak mencukupi. Dengan niat mencari pekerjaan baru. Kebetulan saat itu keluarga Apa yang ikut mengungsipun sudah pulang kembali ke Bandung. Setelah melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Mulyati ( biasa dipanggil Ua Ceuceu ), dan usia ua ceuceu memasuki 5 bulan Ene baru menyusul Apa ke Bandung. Mulanya Apa dan Ene mengontrak di Cicadas tapi baru satu bulan kami pindah ke Kiaracondong  karena di Cicadas sulit air. Kebetulan ada rumah yang mau di kontrakkan  dekat dengan rumah orang tua Apa.

Kisah hidup yang ditulis Ene terhenti sampai disini.   Setelah itu masih ada 12 orang anak lagi yang lahir dari rahim Ene dengan jarak 1 - 2 tahun. Ene belum sempat menyelesaikan tulisannya karena yang Maha Kuasa telah terlebih dulu memanggilnya pulang ke hadirat-NYA. Innalillahi Wainna Illaihi Rojiun............

Ya Rabb Yang Maha Rahman dan Rahim, kematian adalah suatu takdir tidak ada seorangpun yang bisa lepas bila sudah sampai waktunya tiba. Rasa perih itu masih belum hilang, namun aku bangga memiliki dua orang tua hebat seperti mereka. Pertemukanlah mereka kembali di surga-MU yang indah sebagai umat yang selalu menyebarkan dan mengajarkan kebaikan pada kami semua, Aamiin......Aamiin.......Ya Rabbal Allamin


Kebersamaan kami yg terakhir bersama ibunda Idul 1 syawal 1435 H